BAB I
STUDI
SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
A. Studi Sejarah
Pendidikan Islam
Secara
etimologis perkataan “sejarah” yang dalam bahasa Arab disebut tarikh, sirah
atau ilmu tarikh yang berarti ketentuan masa lampau. Sedangkan secara
terminologi sejarah adalah keterangan yang telah terjadi pada masa lampau.
Sedangkan pendidikan Islam menurut
Prof Dr. Omar Muhammad adalah usaha mengubah tingkah laku sendiri dan kehidupan
pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya
melalui proses kependidikan yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam.
Bila dirangkaikan kata sejarah
dengan kata pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Catatatan peristiwa
tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari sejak lahirnya
hingga sekarang ini.
2.
Satu cabang ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan
Islam, baik dari segi gagasan atau ide-ide, konsep lembaga maupun
operarionalisasi sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat ini.
B. Obyek dan Metode
Sejarah Pendidikan Islam
1. Obyek Sejarah Pendidikan Islam
Sejarah
biasanya ditulis dan dikaji dari sudut pandangan atau fakta atau kejadian
tentang peradaban suatu bangsa, maka obyek sejarah pendidikan Islam mencakup
fakta-fakta yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan
Islam baik informal, formal maupun non formal.
2.
Metode Sejarah Pendidikan Islam
Metode sejarah adalah proses menguji
dan menganalisasi secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, yaitu
diperoleh melalui proses yang disebut historiografi (penulisan sejarah).
Mengenai metode yang dipergunakan dalam penggalian dan penulisan sejarah
pendidikan Islam itu sendiri ada bermacam-macam, Untuk penggalian sejarah
umumnya menggunakan metode, yaitu:
a.
Metode lisan
b.
Metode Observasi
c.
Metode Dokumentar
Sedangkan dalam rangka penulisan
sejarah pendidikan Islam menggunakan metode:
a.
Metode diskriftif,
dalam metode ini digambarkan pendidikan Islam, yaitu ajaran yang dibawa
Rasulullah SAW dalam al-Qur’an dan Hadist yang berhubungan dengan pendidikan,
diuraikan sebagaimana adanya, dengan tujuan untuk memahami makna yang
terkandung dalam syariat Islam tersebut.
b.
Metode koperatif,
dalam metode ini berusaha membandingkan sebuah perkembangan pendidikan Islam
dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam.
c.
Metode analisis
sintesis, dalam metode ini pendidikan Islam dilihat secara kritis, analisis dan
bahasan yang luas serta ada kesimpulan yang spesifik sehingga tampak adanya
kelebihan dan kekhasan pendidikan Islam.
C. Kegunaan Sejarah
Pendidikan Islam
Pada dasarnya
kegunaan sejarah pendidikan Islam ada dua, yaitu:
1-
Bersifat Umum, yaitu
sebagai faktor keteladanan
2-
Bersifat khusus,
yaitu berguna dalam bidang akademis, karena kedudukan sejarah pendidikan Islam
selain untuk perbendaharaan perkembangan ilmu pengetahuan juga dalam rangka
menumbuhkan persfektif baru dalam usaha mencari relevansi pendidikan Islam
terhadap segala bentuk pertumbuhan dan perkembangan Iptek.
D. Periodisasi Sejarah
Pendidikan Islam
Secara garis besar Harun Nasutioan
membagi sejarah Islam kepada tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan
dan modern.
Kemudian periodisasi sejarah
pendidikan Islam itu sendiri adalah:
1- Masa
pertumbuhan dan perkembangan Pendidikan Islam, yaitu sejak masa Rasulullah SAW,
masa Khulafaurrasyidin dan masa Umayyah.
2- Masa
kejayaan pendidikan Islam, yaitu berlangsung sejak pemerintahan Daulah
Abbasiyah sampai dengan jatuhnya kota Bagdad yang ditandai dengan perkembangan dan kemajuan
pesat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.
3- Masa
kemunduran pendidikan Islam, yaitu berlangsung sejak jatuhnya kota bagdad sampai jatuhnya Mesir oleh
Napoleon sekitar abad 18 M yang ditandai dengan lemahnya kebudayan Islam dan berpindahnya pusat pengembangan
kebudayaan dan peradaban manusia ke barat.
4- Masa
Pembaharuan pendidikan Islam, berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon
di akhir abad ke 18 M sampai sekarang.
BAB II
MASA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN
Islam
A. Pendidikan Masa
Rasulullah SAW
1. Fase Mekkah
Awal
terjadinya pendidikan Islam semenjak Muhammad diangkat menjadi rasul pada
tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dari usia beliau, bertepatan tanggal 6 Agustus
610 M. Ayat yang pertama turun adalah QS al-a’alaq: ayat 1-5. Kira-kira 3 ½
tahun lamanya sesudah menerima wahyu yang pertama barulah Rasulullah menerima
wahyu yang kedua, yaitu QS al-Muddatstsir: ayat 1-7.
Masyarakat Mekkah pada waktu
Rasulullah dlahirkan dikenal dengan masyarakat jahiliyah. Kepercayaan agama
mereka adalah berpegang teguh dengan tradisi nenek moyang mereka, yaitu
menyembah berhala.
Adapun misi Nabi adalah
menciptakan kembali masyarakat yang mengabdi kepada Allah SWT semata dan
menegakkan keadilan serta kebenaran yang menyeluruh.
Semula usaha kegiatan seruan
Rasulullah SAW tidak dihiraukan oleh peminpin-peminpin Quraisy. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu:
1-
Persaingaan
kekuasaan, kaum Quraisy tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.
2-
Persamaan hak antara
kasta bangsawan dan kasta hamba sahaya yang dilakukan Rasulullah SAW.
3-
Takut dibangkitkan
4-
Taklid kepada nenek
moyang secara membabi buta.
5-
Memperniagakan
patung. Agama Islam melarang menyembah, memahat dan menjual patung. Karena itu
saudagar-saudagar patung memandang agama Islam sebagai penghalang rezeki.
Pelaksanaan pembinaan pendidikan Islam yang dilakukan Nabi
bertahap-tahap, adapun tahapan-tahapan tersebut adalah :
a.
Pendidikan perorangan yang dilakukan secara Rahasia
Setelah menerima wahyu kedua
Rasulullah SAW memulai tugasnya yang dihadapkan kepada keluarga dan para
sahabat beliau yang paling dekat. Adapun materi yang diberikan adalah ayat-ayat
dari kedua wahyu yang telah beliau terima itu.
Pendidikan yang pertama dilakukan
Rasulullah SAW pada saat ini adalah pembentukan pribadi muslim yang dibina
untuk menjadi kader-kader muslim yang bersemangat, memiliki jiwa mental yang
kuat serta tangguh dari segala cobaan ; yang mana kelak diharapkan menjadi
unsur bagi pembentukan masyarakat Islam dan muballig atau pendidik yang baik
yang menjadi contoh teladan bagi murid-muridnya.
Karena pendidikan yang dilakukan
Rasulullah SAW kepada sahabatnya masih secara perorangan dan bersifat rahasia,
maka beliau kemudian memilih rumah al-Arqam sebagai markas pusat pendidikan
bagi kaum muslimin itu. Rasulullah SAW memilih tempat ini, selain disebabkan
karena kesetiaan al-Arqam kepada Rasul dan Islam, juga letaknya sangat baik
karena terlindung dari penglihatan kaum Quraisy sehingga akan memberikan
keamanan dan ketenangan bagi kaum muslimin.
b.
Menyeru dan Mengajak Bani Abdul Muthalib ke dalam Islam
Setiap langkah
dan kegiatan Nabi dalam menyeru dan mengajak umat manusia kepada Islam adalah
sesuai dengan dan menurut rencana Tuhan. Setelah turun wahyu QS. as-Syu’ara :
214-215.
Artinya : Dan berikanlah
peringatan kepada kerabat-kerabat (famili-famili) mu yang terdekat, dan rendahkanlah
dirimu terhadap orang-orang pengikutmu, yaitu orang-orang yang beriman.
Seruan dan ajakan nabi ini disambut
dan dibenarkan dengan baik oleh sebagian mereka dan sebagian lagi
mendustakannya terutama Abu Lahab paman nabi sendiri beserta istrinya sangat
menentangnya. Tahap ini adalah tahap permulaan seruan dan ajakan secara
terang-terangan kepada agama baru itu.
Perintah seruan dan ajakan secara
terang-terangan ini sesuai dengan kenyataan bahwa sahabat Rasulullah SAW sudah
bertambah banyak, mereka merasa tidak perlu takut terhadap gangguan dan ancaman
kaum Quraisy. Disamping itu mereka yang akan masuk Islam pun masih banyak.
Karena itu seruan dan ajakan secara terbatas dan rahasia itu sudah tak mungkin
lagi dilaksanakan. Selain itu tempat pertemuan yang biasa dilakukan di rumah
Al-Arqam pun sudah diketahui pula oleh kaum musyrikin.
c.
Seruan dan Ajakan Umum
Setelah ajakan dan seruan yang
disampaikan kepada Bani Abdul Muthalib tidak memperoleh hasil seperti yang
diharapkan, maka Nabi Muhammad SAW pun beserta sahabatnya meningkatkan usaha
dan kegiatannya. Usaha meningkatkan kegiatannya itu pun didasarkan pada rencana
Allah SWT pula, sebagaimana terdapat dalam QS. al-hijr : 94-95.
Artinya : Maka sampaikanlah olehmu
apa yang telah diperintahkan kepadamu secara tegas (terang-terangan), dan
berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu
dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan kamu.
Sesudah ayat ini turun, maka
Rasulullah SAW pun mulai menyeru dan mengajak seluruh lapisan manusia agar
memeluk agama Islam. Seruan Nabi tidak terbatas kepada orang-orang Mekkah atau
Quraisyi tapi juga kepada orang-orang dari luar Mekkah terutama pada musim
haji.
Akan tetapi seruan untuk
mengembalikan kaum Quraisy kepada ajaran tauhid untuk sementara belum berhasil.
Bahkan mereka selalu membuat perlawanan kepada Nabi Muhammad SAW supaya
menghentikan dakwahnya. Melihat kondisi yang demikian mendorong nabi untuk
berhijrah yaitu ke Madinah.
2.
Fase Madinah
Pendidikan Islam di Madinah pada
dasarnya merupakan lanjutan dari pendidikan di Mekkah. Pada fase Mekkah ciri
pembinaan pendidikan Islam adalah pendidikan tauhid, sedangkan pada fase
Madinah ciri pokok pembinaan pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai
pendidikan sosial dan politik.
Pendidikan fase Madinah apabila
dirumuskan adalah sebagai berikut:
1-
Pendidikan sosial
politik dengan mewujudkan masyarakat yang baru.
2-
Pendidikan keagamaan.
3-
Pendidikan keluarga.
4-
Pendidikan dakwah.
5-
Pendidikan pertahanan
keagamaan.
B. Pendidikan Islam Pada
Masa al-Khulafaur-rasyidin
Kalau masa Rasulullah SAW
dianggap sebagai masa penyemaian nilai kebudayaan Islam ke dalam sistem budaya
bangsa arab pada masa itu, dengan meluasnya ajaran Islam yang mempunyai sistem
budaya yang berbeda-beda, maka pendidikan Islam masa Khulafaurrasyidin ini
perlu penanaman nilai dan kebudayaan Islam agar tumbuh dengan subur. Adapun pendidikan masa khulafaurrasyidin ini :
1.
Masa Khalifah Abu Bakar (11-13 H / 632-634 M)
Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar
menghadapi masalah ummat yang cukup serius, yang harus diselesaikan dengan cara
yang tegas dan pasti. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi Abu Bakar itu sebagai
berikut :
-
Kaum murtad
-
Orang yang mengaku
dirinya sebagai Nabi beserta para pendukungnya
-
Kaum yang tidak mau
membayar zakat.
Adapun sebab-sebab mereka berbuat
demikian adalah :
-
Ajaran Islam belum
dipahami benar
-
Motivasi Islamnya
bukan karena kesadaran dan keinsyafan iman yang sungguh-sungguh tapi karena
pertimbangan politik dan ekonomi.
-
Rasa kesukuan yang
mendalam, mereka menganggap Islam menempatkan mereka dibawah kekuasaan bangsa
Quraisy.
-
Kesalahan memahami
ayat-ayat al-Qur'an yang menimbulkan anggapan bahwa dengan wafatnya Rasulullah
SAW mereka tidak mempunyai kewajiban melaksanakan ajaran agama Islam.
Dalam menghadapi kaam pemberontak
ini, terlebih dahulu mereka dikirimi surat
dengan maksud untuk menyadarkan kembali kepada jalan yang benar. Akan tetapi
para pemberontak itu tetap membangkang, makanya Abu Bakar memeranginya.
Masa pemerintahan Abu Bakar tidak
lama, tapi beliau telah berhasil memberikan dasar-dasar kekuatan bagi
perjuangan perluasan da’wah dan pendidikan Islam.
2.
Masa Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H / 634-644 M)
Setelah Abu
Bakar wafat, kemudian digantikan oleh Umar bin Khattab. Usaha memperluas wilayah
Islam yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dilanjutkan oleh Umar dengan hasil
yang gemilang. Wilayah pada masa Umar meliputi Iraq,
Persia,
Syam, Mesir dan Barqah. Bangsa-bangsa tersebut sebelum Islam masuk ke negaranya
telah memiliki kebudayaan dan peradaban lama.
Meluasnya wilayah Islam
mengakibatkan meluas pula kebutuhan kehidupan dalam segala bidang. Keteraturan
dalam bidang pemerintahan dan segala perlengkapannya memerlukan pemikiran yang
sangat serius. Untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan tenaga manusia yang
memiliki ketrampilan dan keahlian yang memadai bagi kelancaran roda
pemerintahan itu sendiri. Ini berarti peranan pendidikan harus menampilkan
dirinya.
Semangat berda’wah dan pendidikan
dari kaum muslimin yang berada di daerah-daerah baru menunjukkan kekuatan yang
sangat tinggi. Thomas W. Arnold mengatakan ketentuan-ketentuan khusus mengenai
metode dan materi pendidikan dan pengajaran agama bagi para penduduk yang baru
masuk Islam segera disusun, demi mencegah kesimpang siuran pemahaman agama, baik
yang menyangkut dasar-dasar pokok iman maupun mengenai ibadah dan muamalah.
Langkah-langkah pencegahan ini perlu, mengingat derasnya arus penduduk yang
berbondong-bondong masuk Islam. Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab
mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk setiap negeri, yang bertugas
mengajarkan kepada penduduk setempat tentang isi al-Qur'an dan soal-soal lain
yang berhubungan dengan masalah agama.
Pada masa ini bahasa arab mulai menampakkan
dirinya sebagai bahasa linguage franka dalam wilayah Islam, selain digunakan
sebagai alat komunikasi juga sebagai alat pemahaman al-Qur'an dan agama Islam
pada umumnya serta pemersatu kesatu paduan ummat. Dengan demikian kebudayaan
Islam mulai terbina.
3.
Masa Khalifah Usman bin Affan (23-35 H / 644-656 M)
Dalam
menjalankan tugas kepiminpinannya Usman bin Affan banyak menghadapi masalah
politik yang sangat gawat. Masa enam tahun pertama kebijaksanaannya nampak
baik, tapi masa enam tahun terakhir kelemahan-kelemahan pribadinya mulai
nampak, sehingga berdampak negatif bagi pemerintahannya.
Kegiatan pendidikan masih berjalan
seperti yang dilakukan oleh para sahabat Rasul menghasilkan ulama tabiin.
Kegiatan pendidikan yang paling
besar yang dilakukan Usman bin Affan adalah menyalin sebuah mushaf sebagai rujukan
umat Islam yang disebut dengan mushaf
usmani karena sebelumnya sudah terjadi perselisihan dalam hal bacaan
al-Qur'an.
Pada masa pemerintahan Usman bin
AffanTugas mendidik dan mengajar umat diserahkan kepada umat itu sendiri,
artinya pemerintah tidak mengangkat dan menggaji guru-guru / pendidik. Sedang
para pendidik sendiri melaksanakan tugasnya itu hanya dengan mengharapkan
keridhoan Allah semata.
Mata pelajaran yang diberikan
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Ada fase pembinaan, pendidikan dan pelajaran.
Dalam fase pembinaan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan agar peserta didik
memperoleh kemantapan iman, sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah SAW.
Dalam fase pendidikan lebih ditekankan pada ilmu-ilmu praktis, dengan maksud
agar mereka dapat segera mengamalkan ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Pelajaran-pelajaran lain yang sangat penting untuk menunjang pemahaman
al-Qur'an dan Hadis juga diberikan seperti pelajaran bahasa arab, menulis,
membaca, tata bahasa, syair dan pribahasa.
Tempat belajar masih seperti
sebelumnya, mereka belajar di kuttab, di mesjid atau di rumah-rumah yang mereka
sediakan sendiri atau ke rumah gurunya.
Demikian sarana dan wahana
pendidikan pada masa Usman bin Affan, ia melanjutkan apa yang telah ada. Dia
sendiri lebih sibuk menghadapi masalah pemerintahannya.
4.
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H / 656-661 M)
Masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib diisi dengan kekacauan dikalangan umat Islam
sendiri. Sampai-sampai Prof Dr
Ahmad Shalabi mengatakan “sebetulnya tidak pernah ada barang satu hari pun,
keadaan stabil selama pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Karena itu dapat diduga
bahwa kegiatan pendidikan pun saat itu mendapat gangguan dan hambatan,
terhambat karena adanya perang saudara. Stabilitas dan keamanan sosial
merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya perkembangan dan pembangunan dalam
segala bidang kehidupan masyarakat itu sendiri baik ekonomi, politik, sosial
budaya maupun pengembangan intelektual dan agama.
Ali sendiri pada saat itu, tidak
sempat memikirkan masalah pendidikan, karena seluruh perhatiannya ditumpahkan
pada masalah yang lebih penting dan mendesak, yaitu keamanan dan ketentraman
dalam segala kegiatan kehidupan, yakni mempersatukan kembali umat Islam. Akan
tetapi sayang, Ali belum sempat meraihnya.
C. Pendidikan Islam Masa
Umayyah (41-132 H / 661-750 M)
Tewasnya Khalifah Ali bin Abi Thalib
memberi kesempatan dan peluang yang baik bagi naiknya Muawiyah menduduki
jabatan khalifah, yang telah menjadi idamannya semenjak Usman bin Affan
menjabat khalifah.
Naiknya Muawiyah menjadi kholifah
berarti sistem baru dalam ke-kholifahan dimulai. Penggantian kholifah tidak
dipilih seperti kholifah-kholifah sebelumnya, akan tetapi diwariskan kepada
keturunannya.
Dalam mengendalikan pemerintahannya
Muawiyah hampir seluruh perhatiannya ditujukan kepada masalah politik dan
keamanan. Percaturan politik dan gerakan-gerakan militer yang terjadi pada masa
ini, baik dalam usaha perluasan wilayah Islam maupun dalam menghadapi
pemberontakan-pemberontakan, menimbulkan pertumbuhan dan perkembangan dalam
bidang alam pikiran.
1.
Tempat dan Lembaga Pendidikan
Awal kegiatan intelektual kaum
muslimin lebih menonjol dalam bidang hukum daripada teologi. Dalam periode
Daulah Umayyah terdapat dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan
kurikulumnya, yaitu:
1-
Pendidikan khusus,
yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan bagi anak-anak khalifah
dan anak-anak para pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh
kecakapan memegang kendali pemerintahan.
2-
Pendidikan umum,
Pendidikan diperuntukkan bagi rakyat biasa. Pendidikan ini merupakan kelanjutan
dari pendidikan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi masih hidup, ia
merupakan sarana yang sangat penting bagi kehidupan agama.
Adapun
bentuk-bentuk pendidikan pada masa ini adalah :
a. Pendidikan keluarga
Pendidikan Islam mengenal paham
pendidikan seumur hidup. Kurikulum pertama bagi anak adalah
pengalaman-pengalaman yang dialami dan disaksikan sendiri dalam lingkunagn
rumahnya.
b. Kuttab
Kuttab ini
adalah lanjutan dari pendidikan keluarga.
Sebagai lembaga pendidikan dasar, kuttab telah tersebar di seluruh
wilayah Islam, tumbuh dan berkembang tanpa campur tangan dari pemerintahan.
c. Mesjid
Peranan mesjid sebagai pusat
pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang
merasa dirinya cakap dan mampu mengajarkan ilmunya kepada orang yang haus ilmu
pengetahuan.
Dalam mesjid ada dua tingkatan
sekolah, yaitu
-
Tingkat menengah,
Pelajaran yang diberikan dalam tingkat menengah ini dilakukan secara
perorangan. Adapun mata pelajarannya adalah al-Qur'an dan tafsirnya, hadist dan
fiqh.
-
Tingkat perguruan
tinggi. Pada tingkat perguruan tinggi ini dilakukan secara halaqah. Adapun mata
pelajarannya adalah tafsir, hadist, fiqh dan syariat Islam.
d. Majlis sastra
Majlis sastra
ini merupakan gelanggang pembahasan situasi politik dan jalannya roda
pemerintahan serta pengembangan ilmu pengetahuan, juga sebagai sarana rekreasi
dan kebanggaan kalangan atas.
2.
Semangat Ilmu Pengetahuan
Rasa haus kaum
muslimin terhadap ilmu pengetahuan jelas nampak dalam usahanya mengembangkan
ilmu agama dan bahasa, disamping itu perhatian mereka terhadap perpustakaan
telah mulai muncul. Mereka juga dihadapkan pada ilmu-ilmu lama yang telah
dimiliki bangsa-bangsa yang sudah berkebudayaan dan berperadaban tinggi, hal
ini membangkitkan kegiatan usaha menterjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan
Yunani, Qibti, Persia
dan India
ke dalam bahasa arab.
3.
Semangat Ijtihad
Sarana pendidikan menunjukkan
kemajuan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya, yakni zaman
khulafaurrasyidin. Materi dan objek ilmu semakin meluas dan bercabang.
Disamping itu rasa haus akan ilmu pengetahuan dan dorongan-dorongan untuk
memecahkan persoalan-persoalan baru yang belum ada contohnya dari Rasulullah
SAW membangkitkan usaha pengembangan dari ilmu itu sendiri guna memenuhi
kebutuhan mereka pada zamannya. Mereka terus belajar dan berijtihad.
BAB III
MASA
KEJAYAAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Latar Belakang Sosial
Politik
Daulah
Abbasiyah didirikan pada tahun 130 H (750 M), dengan khalifah pertamanya adalah
Abu Abbas as-Shaffat. Daulah Abbasiyah ini berkuasa sampai tahun 656 H (1258 M)
dengan 37 orang khalifah silih berganti.
Pada
priode pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para
khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi,
karena pada masa al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan
hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.
Selain
dalam bidang perekonomian, bidang industri pun mengalami peningkatan dengan
pesat yaitu seperti industri kertas sebagaimana yang dibuat oleh China
telah dapat diusahakan pada masa Harun al-Rasyid.
Dengan
demikian, kertas yang berlimpah itu telah ikut memacu perkembangan. Kemantapan
dalam bidang politik memungkinkan ekonomi yang berkembang dengan pesat
pembangunan dalam segala bidang, baik pertahanan ataupun industri dan
perdagangan meningkat luar biasa sehingga dana yang meningkat dan melimpah ruah
itu menunjang pengembangan ilmu. Bahan pengetahuan, baik tentang agama atau
bukan, yang tersimpan dalam ingatan ataupun tercatat dalam lembaran telah cukup
banyak, hal ini mendorong untuk segera diadakan penulisan ilmu secara lebih
sistematis. Sehingga pada masa Khalifah al-Ma’mun yang dikenal sebagai khalifah
yang cinta ilmu mengadakan penerjemahan buku-buku asing secara besar-besaran.
Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah dari Kristen dan penganut
agama lain yang ahli.
Dari
pertikasi antara golongan diantara umat Islam dan non Islam telah ikut pula
merangsang kesungguhan para ulama untuk menekuni bidang ilmu. Dan al-Ma’mun
juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting
adalah pembangunan baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai
perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
B. Berkembangnya
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam
Sebelum timbulnya sekolah dan
universitas yang kemudian dikenal dengan lembaga pendidikan formal, dalam dunia
Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga yang bersifat nonformal.
Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh
berkembang bentuk-bentuk lembaga-lembaga pendidikan nonformal yang semakin
luas. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak nonformal
tersebut adalah:
a. Kuttab Sebagai
Lembaga Pendidikan Dasar
Kuttab
adalah tempat belajar menulis. Pada mulanya, diawal perkembangan Islam, kuttab tersebut dilaksanakan di rumah
guru-guru yang bersangkutan dan yang diajarkan adalah semata-mata menulis dan
membaca. Sedangkan yang ditulis atau dibaca adalah syair-syair yang terkenal
pada masanya. Kemudian pada akhir abad pertama Hijriyah, mulai timbul jenis kuttab yang disamping memberikan pelajaran
menulis dan membaca, juga mengajarkan membaca al-Qur'an dan pokok-pokok ajaran
agama. Pada mulanya, kuttab jenis ini
merupakan pemindahan dari pengajaran al-Qur'an yang berlangsung di mesjid, yang
sifatnya umum (bukan saja bagi anak-anak, tetapi terutama bagi orang-orang
dewasa). Dengan demikian, kuttab tersebut berkembang menjadi lembaga pendidikan
dasar yang bersifat formal.
b. Pendidikan Rendah di
Istana
Pendidikan anak di istana berbeda
dengan pendidikan anak-anak di kuttab.
Pada umumnya, di istana orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang
membuat rencana pelajaran tersebut selaras dengan anak-anaknya dan tujuan yang
dikehendaki orang tuanya (para pembesar di istana), sesuai dengan kebutuhan
anaknya kelak sebagai calon pewaris kerajaan.
c. Toko-toko Kitab
Pada permulaan masa Daulah Bani
Abbasiyah, dimana ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam sudah tumbuh dan
berkembang dan diikuti oleh penulisan kitab-kitab dan berbagai cabang ilmu
pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab. Pada mulanya toko-toko kitab
tersebut berfungsi sebagai tempat berjual-beli kitab-kitab yang telah ditulis
dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, tetapi juga
merupakan tempat berkumpul para ulama, pujangga dan ahli-ahli ilmu pengetahuan
lain untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah
ilmiah. Jadi, sekaligus berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan dalam rangka
pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.
d. Rumah-rumah Para Ulama (Ahli Ilmu Pengetahuan)
Rumah-rumah para ulama dan para
ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Diantara rumah ulama terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu
Sina, al-Ghazali, Ali Ibnu Muhammad al-Fashihi, Ya’qub Ibnu Killis, wazir
Khalifah al-Aziz Billah.
e. Majlis atau Saloon
Kesusastraan
Dengan majlis saloon
kesusastraan, dimaksudkan adalah untuk majlis khusus yang diadakan oleh
khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Dalam majlis sastra
tersebut, bukan hanya membahas dan mendiskusikan masalah-masalah kesusastraan
saja, melainkan juga berbagai ilmu pengetahuan dan berbagai kesenian. Pada masa
Harun al-Rasyid (170-193 H), majlis sastra ini mengalami kamajuan yang luar
biasa, karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunyai
kecerdasan, sehingga khalifah sendiri aktif didalamnya. Sedangkan negara berada
dalam kondisi yang aman, tenang dan dalam zaman pembangunan. Pada masanya
sering diadakan perlombaan antar ahli-ahli syair, perdebatan antar fuqaha dan
diskusi para sarjana berbagai macam ilmu pengetahuan.
f. Badiah (Padang Pasir, Dusun
Tempat Tinggal Badwi)
Sejak berkembang luasnya Islam
dan bahasa Arab digunakan sehingga bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa diluar
bangsa-bangsa Arab yang beragama Islam. Kalau di kota-kota, bahasa yang dipakai
adalah bahasa pasaran dan campur baur dengan bahasa-bahasa lain. Ternyata kalau
di badiah-badiah atau dusun-dusun tempat tinggal orang-orang Arab tetap
mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Oleh karena itu,
khalifah-khalifah biasanya mengirimkan anak-anaknya ke badiah-badiah ini untuk
mempelajari bahasa Arab yang fasih lagi murni dan mempelajari pula syair-syair
serta sastra Arab dari sumbernya yang asli.
g. Rumah Sakit
Pada masa jayanya perkembangan
kebudayaan Islam, dalam rangka menyebarkan kesejahteraan dikalangan umat Islam,
maka banyak didirikan rumah-rumah sakit oleh kahlifah dan pembesar-pembesar
negara. Rumah-rumah sakit tersebut, bukan hanya berfungsi sebagai tempat
merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga
yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Dengan demikian, rumah sakit
dalam dunia Islam juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
h. Perpustakaan
Pada zaman perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku
adalah merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan
telah dikembangkan oleh para ahlinya. Disamping itu, berkembang pula
perpustakaan-perpustakaan yang sifatnya umum, yang diselenggarakan oleh
pemerintah atau merupakan wakaf dari para ulama dan sarjana. Baitul Hikmah di
Baghdad yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid adalah merupakan satu
contoh perpustakaan Islam yang lengkap yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan berbagai
buku-buku terjemahan dari bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty dan Arany.
Perpustakaan-pepustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya dikatakan sudah
menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan sumber
pengembangan ilmu pengetahuan.
i. Masjid
Semenjak berdirinya di zaman Nabi
Muhammad SAW mesjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah
kehidupan kaum muslimin. Ia menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili
perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi-informasi lainnya
dan tempat menyelenggarakan pendidikan baik bagi anak-anak dan orang-orang
dewasa.
Kemudian pada masa Khalifah Bani
Umayyah berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama yang bersifat keagamaan. Para ulama
mengajarkan ilmunya di mesjid. Tetapi, majlis khalifah berpindah ke mesjid atau
ke tempat tersendiri. Mesjid-mesjid yang didirikan oleh para penguasa pada
umumnya dilengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan.
C. Berdirinya
Madrasah-madrasah
Madrasah adalah salah satu bentuk
lembaga pendidikan Islam. Dan model madrasah itu tidak sama dengan mesjid atau
lembaga pendidikan Islam lainnya.
Antara
madrasah dengan lembaga-lembaga pendidikan sebelumnya mempunyai perbedaan,
dimana lembaga-lembaga pendidikan sebelum madrasah tidak diatur secara
administratif, sedangkan madrasah memiliki administrasi yang terarur dan rapi
sehingga pelaksanaan pendidikan mengikuti aturan yang diterapkan oleh pengelola
madrasah.
D. Sarjana-sarjana Muslim
1. Al-Kindi
Al-Kindi atau
nama lengkapnya ialah Abu Yusup Ya’qub Ibn Ishak Ibn al-Shaban Ibn Imran Ismail
Ibn Muhammad Ibn al-Asyats Ibn Qais al-Kindi. Ia dilahirkan pada tahun 185 H
atau 801 M di Kufah pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid dan wafat tahun 873
M. Al-Kindi dipandang sebagai salah seorang filosof muslim pertama yang lahir
di dunia Islam dan dikenal sebagai filosof Islam yang bergelar “Filosof Arab”.
2.
Al-Farabi
Nama
lengkapnya adalah Abu Nashir Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tharkam Ibnu Auzalagh
al-Farabi, ia dilahirkan pada tahun 870 M (257 H) di desa Wasit, suatu daerah kota Farab, yaitu wilayah
kekuasaan Turki.
Al-Farabi adalah seorang filosof
muslim yang telah meninggalkan sejumlah tulisan yang penting, yang pada umumnya
berupa risalah-risalah pendek dan kebanyakan karyanya merupakan terjemahan,
komentar dan ulasan-ulasan dari karya Plato dan Aristoteles.
3.
Ibnu Miskawaih
Nama
lengkapnya adalah Abu Ali al-Khazin Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub Miskawaih, Ia
dilahirkan di Ray (sekarang Taheran) pada tahun 320 H / 532 M. Ia wafat pada
tahun 421 H / 1030 M.
Perhatiannya terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan kesustraan amat besar. Pada masa inilah Ibn
Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ahdud al-daulah, dan pada masa ini juga
terkenal sebagai filosof, thabib, ilmuwan dan pujangga.
4.
Ibnu Sina
Nama
lengkapnya adalah Abu Ali al-Husain Ibnu Abdillah Ibn Hasan Ibn Ali Ibn Sina.
Di Eropa dikenal dengan nama Avi Cenna, ia lahir pada tahun 370 H / 980 H
disuatu tempat yang bernama Afsyana di Bukhara. Dalam usia 10 tahun, ia banyak
mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal al-Qur'an seluruhnya.
Menjelang usia 17 tahun ia dikenal
sebagai seorang ahli kedokteran, ia berhasil mengobati Pangeran Nuh Ibnu
Manshur sehingga ia diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkunjung ke
perpustakaan pangeran. Kesempatan itu digunakannya dengan sebaik-baiknya
mengembangkan ilmu pengetahuannya / kemampuannya. Ibnu Sina banyak mengarang
buku yang menurut catatan telah menulis 276, baik berupa buku maupun manuskrip.
E. Pendidikan Wanita
K. Hitti menandaskan bahwa anak-anak
perempuan diperbolehkan mengikuti sekolah tingkat dasar. Fayyaz Mahmud juga
menjelaskan bahwa pada masa Dinasti abbasiyah anak-anak perempuan juga
mempunyai kesempatan untuk belajar di maktab-maktab.
Syalabi menyatakan bahwa wanita
biasanya menerima pelajaran di rumah dari salah satu anggota keluarga yang
khusus didatangkan untuk mereka. Adapun ilmu yang penting bagi kaum wanita
adalah ilmu tentang akhlak, hubungan dengan sosial, atau muamalah dan
kesehatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wanita telah diberi
kesempatan untuk mengikuti kelas-kelas terbuka, tetapi wanita yang dapat
merasakan kesempatan ini jumlahnya relatif sedikit.
BAB IV
PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEMUNDURAN
A. Latar Belakang
Menurut M.M. Syarif, sebagaimana
dikutip oleh Zuhairimi menjelaskan bahwa gejala kemunduran pendidikan Islam
mulai tampak setelah abad ke-13 M yang ditandai dengan terus melemahnya
pemikiran Islam sampai pada abad ke-18M. Selama masa ini pendidikan Islam lewat
lembaga madrasahnya sangat terbatas dalam bidang pendidikan Naqliyah dan Lisaniyah. Tidak lagi secemerlang zaman Abbasiyah dimana pendidikan
meliputi Naqliyah, Aqliyah dan Lisaniyah berkembang secara seimbang.
Walaupun demikian masih ada juga madrasah-madrasah yang mempelajari kedokteran,
filsafat, ilmu musik tapi jumlahnya sangat sedikit. Singkatnya, pendidikan dan
pengajaran Islam pada masa itu jauh menurun.
Setelah Mesir jatuh dibawah kekuasaan
Sultan Salim Dinasti Usmaniyah Turki, Sultan Salim memerintahkan supaya
kitab-kitab di perpustakaan dan barang-barang berharga di Mesir dipindahkan ke Istanbul. Keturunan Sultan
Mameluk, ulama-ulama dan para pembesar yang berpengaruh di Mesir dibuang ke Istanbul. Berpindahnya
ulama-ulama dan kitab-kitab perpustakaan Mesir ke Istanbul, maka Mesir sebagai pusat ilmu
pengetahuan pada masa Mameluk menjadi tidak berarti sama sekali.
Masa Usmaniyah merupakan zaman yang
paling suram dalam sejarah pendidikan Islam, pada masa itu hampir tidak ada
lagi ulama yang lahir dan tidak ada lagi pemikir yang menemukan buah pikirnya
yang original. Memang Sultan-sultan Usmaniyah tampil juga mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan seperti madrasah, namun tidak lebih baik daripada
yang pernah diselenggarakan oleh Sultan-sultan Mameluk.
Al-Azhar yang pernah populer pada
masa Mameluk, maka pada masa Usmaniyah al-Azhar hanya lembaga pendidikan yang
tidak terhitung. Bidang studi yang diajarkan tidak lebih dari ilmu-ilmu Naqliyah dan Lisaniyah, sedangkan ilmu-ilmu Aqliyah
seperti; filsafat, ilmu pasti dan sebagainya dianggap haram mempelajarinya. Ini
dikarenakan meluasnya perkembangan paham sufistik.
B. Faktor-faktor
Penyebab Kemunduran
M.M. Syarif mengungkapkan bahwa
pikiran Islam menurun setelah abad ke-13 M dan terus melemah sampai abad ke-18
M. Diantara sebab-sebab melemahnya pikiran Islam tersebut antara lain adalah
sebagai berikut:
1.
Telah berlebihannya
filsafat Islam (yang bercorak sufistik) yang dimasukkan oleh imam al-Ghazali
dalam alam Islami di Timur dan berlebihannya pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan
filsafat islamnya (yang bercorak rasionalistik) ke dunia Islam di Barat.
2.
Kehidupan sufi
berkembang dengan pesat. Madrasah-madrasah yang ada dan berkembang diwarnai
dengan kegiatan-kegiatan sufi.
3.
Umat Islam, terutama
para pemerintahnya (khalifah, sultan, amir-amir) melalaikan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan dan tidak memberikan kesempatan untuk berkembang.
4.
Terjadinya
pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga
menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan terhentinya kegiatan
pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam.
Dengan semakin ditinggalkannya
pendidikan intelektual, maka semakin statis perkembangan kebudayaan Islam,
karena daya intelektual generasi penerus tidak mampu mengadakan kreasi-kreasi
budaya baru, bahkan tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan baru yang
dihadapi sebagai akibat perubahan dan perkembangan zaman. Ketidakmampuan
intelektual tersebut merealisasi dalam “pernyataan” bahwa pintu ijtihad telah
tertutup, maka terjadilah kebekuan intelektual secara total.
Kehancuran total yang dialami
oleh kota Baghdad
dan Granada
sebagai pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan Islam, menandai runtuhnya
sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam. Musnahnya lembaga-lembaga
pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pendidikan di
bagian Timur dan Barat dunia Islam tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan
di seluruh dunia Islam.
Kemunduran dan kemerosotan mutu
pendidikan Islam dan pengajaran pada masa ini, nampak jelas dalam sangat
sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran
pada umumnya madrasah-madrasah yang ada. Pada masa ini madrasah-madrasah
tidak lagi mengajarkan ilmu-ilmu Aqliyah,
kalaupun ada sangat sedikit sekali.
C. Profil Pendidikan
Islam Pada Masa Kemunduran
Adapun profil pendidikan pada masa
kemunduran pendidikan Islam dapat kita tampilkan secara garis besarnya. Sistem
pengajaran pada masa Mameluk sudah mengarah kepada metode penghafalan, maka
pada masa Mameluk metode menghafal berbagai matan merupakan sistem pengajaran
yang sudah melembaga seperti menghafal Matan
al-Jurumiyah, Matan Taqrib, Matan
Alfiyah, Matan Sullan, dan lain-lain. Sistem diskusi, simposium yang pernah
berkembang pada masa kejayaan pendidikan Islam tidak terdengar lagi
penyelenggaraan. Disamping itu, ilmu tasawuf merupakan satu-satunya ilmu yang
berkembang sangat pesat.
Kenyataan diatas memang dapat
dibuktikan karena ulama-ulama pada masa Mameluk boleh dikatakan tidak ada
mencipta lagi, lebih-lebih pada masa Usmaniyah. Mereka hanya mengunyah-ngunyah
kitab-kitab para ulama terdahulu dengan meringkas kitab-kitab lama yang
panjang.
Biasanya, kurikulum dilaksanakan
atas metode urutan mata pelajaran. Jadi, sebagai contoh urutan tersebut; Bahasa
dan Tata Bahasa Arab, Kesusastraan, Ilmu Hitung, Filsafat, Hukum,
Yurisprudensi, Teologi, Tafsir al-Qur'an dan Hadits. Si murid melewati kelas
demi kelas dengan menyelesaikan satu mata pelajaran dan memulai lagi satu mata
pelajaran yang lebih tinggi. Dengan sendirinya sistem ini tidak memberikan
banyak waktu untuk setiap mata pelajaran. Tetapi metode ini bukanlah
satu-satunya metode yang dipakai. Seringkali seorang murid mulai dengan suatu
ringkasan dalam sebuah mata pelajaran dan di kelas selanjutnya ia mempelajari pelajaran yang sama secara
terperinci dengan disertai komentar-komentar.
Tugas guru pada masa ini adalah
mengajarkan komentar-komentar orang lain disamping teks aslinya dan biasanya
tanpa menyertakan komentarnya sendiri dan bahkan tidak ada persesuaian pendapat
tentang mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lainnya.
Begitulah gambaran keadaan
pendidikan pada masa Mameluk dan Usmaniyah ini, para pelajar banyak yang
melarikan diri dari belajar filsafat, eksakta dan ilmu-ilmu Aqliyah lainnya ke dunia pembahasan Naqliyah semata. Apalagi al-Azhar telah
mengharamkan filsafat sehingga pengetahuan yang dirintis pada masa kebangkitan
pendidikan Islam dan maju pesat pada masa kejayaan pendidikan Islam menjadi ilmu
pengetahuan yang menjijikkan. Sebagai gantinya tasawuf berkembang pesat yang
ditandai dengan berkembangnya berbagai macam thariqat dan memberikan pengaruh
yang sangat besar pada masa itu.
D. Beberapa Ulama
Terkenal Pada Masa Kemunduran
Meskipun keterpurukan dan kemunduran
terjadi dalam pendidikan Islam, namun pada masa Mameluk dan Usmaniyah masih
terdapat ulama-ulama mujtahid, tetapi tidak dapat dikategorikan kepada imam
mujtahid mutlak seperti imam mujtahid pada masa kejayaan pendidikan Islam.
Adapun imam mujtahid dimaksud adalah seperti:
1.
Izuddin bin Abdus
Salam (wafat 660 H).
2.
Ibnu Hajar al-Asqalny
(774-852 H).
3.
Imam Nawawi
as-Syafi’e (631-676 H).
4.
Syekh Zakaria
al-Anshary (wafat 924 H).
5.
Syekh Samsuddin
Ramaly (wafat 1004 H).
6.
Dan masih banyak lagi
ulama yang tidak terkoper dalam makalah ini.
BAB V
MASA
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Latar Belakang
Pembaharuan Pendidikan Islam
Pembaharuan
pendidikan Islam adalah upaya dasar untuk memperbaiki aspek-aspek pendidikan
Islam dalam praktek (termasuk pengajaran). Timbulnya pembaharuan pendidikan
Islam diawali oleh pembaharuan pemikiran Islam yang timbul di Mesir yang
dimulai sejak kedatangan Napoleon ke Mesir. Pendidikan oleh Napoleon Bonaparte
1998 M adalah merupakan tonggak sejarah bagi umat Islam.
Untuk mendapatkan kesadaran tentang
kelemahan dan keterbelakangan umat Islam, ekspedisi Napoleon tersebut bukan
hanya menunjukan akan kelemahan umat Islam, tetapi juga sekaligus menunjukkan
kebodohan mereka. Ekspedisi Napoleon tersebut disamping membawa sepasukan tentara
yang kuat, juga membawa seperangkat peralatan ilmiah untuk mengadakan
penelitian di Mesir. Inilah yang membuka mata kaum muslimin akan kelemahan dan
keterbelakangannya. Sehingga akhirnya timbul berbagai macam usaha pembaharuan
dalam segala bidang kehidupan untuk mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan
mereka termasuk usaha-usaha di bidang pendidikan.
B. Pemikiran Pembaharuan
dalam Islam
Secara garis besar dalam bukunya
Musyrifah Sunanto disebutkan bahwa ada beberapa macam gerakan pembaharuan di
dunia Islam, yaitu:
a.
Wahabiyah atau
salafiyah, pembinanya adalah Muhammad Abdul Wahab yang tumbuh di Hizaz (Arab).
Gerakan ini timbul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang telah dirusak oleh
ajaran-ajaran yang menyimpang. Untuk melepaskan umat Islam dari kesesatan ini,
maka umat Islam harus kembali kepada Islam yang murni.
b.
Pembaharuan dalam
Islam (modernisasi Islam), pembinanya adalah Jamaluddin al-Afgani, Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridho. Gerakan ini tumbuh di Mesir sebagai intelektual Islam.
Gerakan ini berupaya untuk menyaring kemajuan Barat dan menyesuaikan dengan
perikehidupan umat.
c.
Westernisasi dalam
Islam, maksudnya gerakan ini mengajak umat untuk menerima pengetahuan Barat.
C. Pola Pembaharuan
Pendidikan Islam
Dengan
memperhatikan berbagai macam sebab-sebab kemunduran umat Islam dan dengan
memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang dimiliki oleh orang Eropa,
maka pada garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan
Islam, yaitu:
1-
Pola pembaruan
pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pendidikan modern Eropa.
Golongan
ini berpandangan bahwa sumber kesejahteraan yang dialami oleh orang Barat
adalah hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka
capai.
2-
Pola pembaharuan
pendidikan Islam yang berorientasi pada tujuan pemurnian kembali ajaran Islam.
Golongan
ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri adalah sumber dari kemajuan
dan perkembangan peradaban modern. Islam sendiri sudah penuh dengan
ajaran-ajaran dan pada hakikatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan
kesejahteraan umat manusia.
3-
Pola pembaharuan
pendidikan Islam yang berorientasi kepada kekayaan dan sumber budaya bangsa
masing-masing dan bersifat nasionalisme.
Golongan
ini berpandangan bahwa bangsa Barat mengalami kemajuan rasa nasionalisme yang
kemudian menimbulkan kekuasaan-kekuasaan politik yang berdiri sendiri. Keadaan
tersebut mendorong pada umumnya bangsa timur bangsa terjajah lainnya untuk
mengembangkan nasionalisme masing-masing.
BAB VI
PENDIDIKAN
ISLAM DI INDONESIA
A. Masuk dan berkembangnya
Islam di Indonesia
Islam dalam batas tertentu
disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da’i) dan
pengembara sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama itu tidak
bertendensi apa pun selain bertanggungjawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih,
sehingga nama mereka berlalu begitu saja. Tidak ada catatan sejarah atau
prasasti pribadi yang sengaja dibuat mereka untuk mengabadikan peran mereka,
ditambah lagi wilayah Indonesia
yang sangat luas dengan perbedaan kondisi dan situasi. Namun, secara garis
besar perbedaan pendapat itu dapat dibagi menjadi sebagai berikut :
a.
Pendapat pertama
dipelopori oleh sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouck Hurgronce yang
berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dari Gujarat
(bukan dari Arab langsung), dengan bukti ditemukannya makam sultan yang
beragama Islam pertama Malik as-Sholeh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai
yang dikatakan berasal dari Gujarat.
b.
Pendapat kedua
dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim, diantaranya Hamka, yang mengadakan
“Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan tahun 1963. Hamka dan
teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada
abad pertama Hijriyah (+ abad 7 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur
pelayaran yang ramai dan bersifat Internasional sudah dimulai jauh sebelum abad
13 melalui selat Malaka.
c.
Sarjana Muslim
kontemporer Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut
pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama
Hijriyah, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di
pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-basaran dan mempunyai
kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai.
Bersamaan dengan para pedagang
datang pula da’i-da’i dan musafir-musafir sufi. Melalui jalur pelayaran itu
pula mereka dapat berhubungan dengan para pedagang, hal itu memungkinkan
terjadinya hubungan timbal balik, sehingga terbentuklah perkampungan masyarakat
Muslim.
Tersebarnya Islam ke Indonesia
adalah melalui saluran-saluran sebagai berikut :
a.
Perdagangan, yang
mempergunakan sarana pelayaran.
b.
Dakwah, yang
dilakukan oleh muballig yang berdatangan bersama para pedagang.
c.
Perkawinan, yaitu
perkawinan antara pedagang Muslim, muballig dengan anak bangsawan Indonesia. Hal
ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga Muslim dan
masyarakat Muslim.
d.
Pendidikan. Setelah
kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di
bandar-bandar. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan
dan penyebaran Islam.
e.
Tasawuf dan tarekat.
Bersamaan dengan pedagang,datang pula para ulama, da’i dan sufi pengembara. Para ulama atau sufi itu ada yang diangkat menjadi
penasihat dan atau pejabat agama di kerajaan. Para
sufi menyebarkan Islam melalui dua cara:
§ Dengan
membentuk kader muballig, agar mampu mengajarkan serta menyebarkan agama Islam
di daerah asalnya.
§ Melalui
karya-karya tulis yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat.
f.
Kesenian. Saluran
yang banyak sekali untuk dipakai penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
Wali Songo, banyak mempergunakan cabang seni untuk islamisasi, seni arsitektur,
gamelan, wayang, nyanyian, dan seni busana.
B. Pendidikan Islam di
masa permulaan
1.
Sistem pendidikan langgar
Pada awalnya berkembangnya agama
Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Agama Islam datang ke Indonesia
dibawa oleh para pedagang muslim, sambil berdagang mereka menyiarkan agama
Islam. Setiap ada kesempatan mereka memberikan pendidikan dan ajaran agama
Islam. Didikan dan ajaran Islam mereka berikan dengan perbuatan berupa contoh
dan suri teladan. Mereka berlaku sopan, ramah tamah, tulus ikhlas, amanah dan
kepercayaan, pengasih dan pemurah, jujur dan adil, menepati janji serta
menghormati adat istiadat yang ada, yang menyebabkan masyarakat Nusantara
tertarik untuk memeluk agama Islam.
Pendidikan agama Islam di langgar
bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Arab (Hijaiyah) atau
kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca
dari kitab suci alqur’an. Pengajian
Alqur’an pada pendidikan langgar
dibedakan kepada dua macam, yaitu:
§ Tingkatan
rendah, merupakan tingkatan pemula, yaitu mulainya mengenal huruf alqur’an
sampai bisa membacanya, diadakan pada tiap-tiap kampung, dan anak-anak hanya
belajar pada malam hari dan pagi hari sesudah salat subuh.
§ Tingkatan
atas, pelajarannya selain diatas tersebut ditambah lagi dengan pelajaran lagu,
kasidah, barzanji dan tajwid.
2.
Sistem pendidikan pesantren.
Adapun sistem pendidikan di
pesantren dapat digambarkan sebagai berikut
Pada pagi hari
setelah salat subuh, para santri melakukan pekerjaan kerumah-tanggaan untuk
guru, seperti membersihkan halaman, mengerjakan sawah dan sebagainya. Setelah
itu, baru diberikan pelajaran. Pelajaran utama dengan dielingi belajar sendiri.
Pada siang hari murid beristirahat dan pada sore harinya belajar lagi. Dalam
melakukan semua kegiatan waktu salat berjamaah selalu diperhatikan.
Adapun metode yang dilakukan:
§ Metode
wetonan atau halaqah.
§ Metode
sorogan.
C. Islam di Masa
Kerajaan Islam Sumatera.
Seminar
masuknya Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963 menyimpulkan sebagai
berikut :
§ Menurut
sumber bukti yang terbaru, Islam pertama kali datang di Indonesia pada
abad ke-7 M/ 1 H dibawa oleh pedagang dan muballig dari negeri Arab.
§ Daerah
yang pertama dimasuki ialah pantai barat pulau Sumatra
yaitu di daerah Barus.
D. Masuknya Islam ke
Pulau Jawa
Islam untuk pertama kali masuk di
Jawa pada abad ke-14, (tahun 1399 M) dibawa oleh Maulana Malik Ibrahim dengan
keponakannya bernama Mahdem Ishak yang menetap di Gresik. Pada zaman itu yang
berkuasa di Jawa adalah kerajaan Majapahit. Salah seorang raja Majapahit
bernama Sri Kertabumi mempunyai istri yang beragama Islam bernama puteri Cempa. Kejadian tersebut sangat
berpaedah bagi dakwah Islam. Dan puteri Cempa melahirkan putra bernama Raden
Fatah yang menjadi raja Islam yang pertama di Jawa. Raden Fatah bergelar Sultan
Almsyah Akbar.
E. Walisongo
Dakwah di Jawa makin memperoleh
bentuknya yang lebih mantap dengan adanya pimpinan yang disebut Walosongo
(sembilan tokoh pemimpin dakwah Islam di Jawa). Ada hubungan timbal balik antara peranan
walisongo dengan kerajaan Demak di bidang dakwah Islam, yakni berdirinya kerajaan para wali. Raden Fatah menjadi raja
adalah atas keputusan para wali juga. Pada tahun 1476 Raden Fatah mendirikan
pesantren.
Para
walisongo ditinjau dari kepribadian dan perjuangan dakwahnya termasuk kekasih
Allah. Dan ditinjau dari tugas dan fungsinya dalam kerajaan Demak, mereka
adalah penguasa pemerintahan. Dengan demikian maka sasaran pendidikan dan
dakwah Islam meliputi rakyat umum dan kalangan pemerintah. Jadi Walisongo
adalah orang-orang saleh yang tingkat takwanya kepada Allah sangat tinggi,
pejuang dakwah Islam dengan keahlian yang berbeda. Ada yang ilmu tasawufnya, ada seni budayanya,
ada yang memegang pemerintahan dan militer secara langsung. Semuanya diabdikan
untuk pendidikan dan dakwah Islam.
F. Kerajaan Islam di
Kalimantan
Islam
masuk di Kalimantan pada abad ke-15 M dengan
cara damai dibawa oleh muballig dari Jawa. Pada tahun 1710 di Kalimantan
terdapat seorang ulama besar bernama Syekh Arsyad Al-Banjari dari desa
Kalampayan yang terkenal sebagai pendidik dan muballig besar. Pengaruhnya
meliputi seluruh Kalimantan (Selatan, Timur
dan Barat). Ia menulis kitab-kitab agama. Pada waktu kecil ia diasuh dan
dikirim untuk belajar ke Makkah dan Madinah.
Sistem
pengajaran kitab agama di pesantren Kalimantan
sama dengan sistem pengajian kitab di pondok pesantren di Jawa, terutama
cara-cara menerjemahkan ke dalam bahasa daerah. Salah seorang tokoh Islam yang
masuk di Kalimantan Barat ialah Syarif Abdulrahman Al-Kadri dari Handramaut
pada tahun 1735 M dan kawin dengan putra Dayak yang akhirnya mewarisi kerajaan
di Kalimantan Barat. Salah seorang pejuang dari Kalimantan Selatan ialah
Pangeran Antasari lahir pada tahun 1790 M, Pangeran Antasari melawan Belanda
untuk membela agama Islam dan tanah air.
G. Kerajaan Islam di Sulawasi
Kerajaan
yang mula-mula berdasarkan Islam adalah kerajaan Kembar Gowa Tallo tahun 1605
M. Rajanya bernama I Malingkang Daeng Mayonri yang kemudian berganti nama
dengan Sultan Abdullah Awwalul Islam. Menyusul dibelakngnya raja Gowa bernama
Sultan Alauddin. Dalam waktu dua tahun seluruh rakyat telah memeluk Islam.
Muballig Islam yang sangat berjasa di sana
ialah Abdul Qadir Khatib Tunggal gelar Dato Ri Bandang berasal dari
Minangkabau, murid Sunan Giri. Seorang Portugis bernama Pinto pada tahun 1544 M
menyatakan telah mengunjungi Sulawesi dan berjumpa dengan pedagang-pedagang
(muballig) Islam dari Malaka dan Patani (Thailand).
Pengaruh
raja Gowa dan Tallo dalam dakwah Islam sangat besar terhadap raja-raja kecil
lainnya. Di antara raja-raja itu sudah ada perjanjian yang berbunyi: “Barang
siapa yang menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan
memberitahukan kepada raja-raja yang menjadi sekutunya”. Jalan di sini berarti
jalan hidup atau agama. Dengan demikian maka Islam ikut mempersatukan
kerajaan-kerajaan yang semula berperang.
Dari
Sulawesi Selatan, agama Islam berkembang ke Sulawesi Tengah dan Utara. Islam
masuk daerah Manado pada zaman Sultan Hasanuddin, ke daerah Bolaang Mangondow
di Sulawesi Utara pada tahun 1560 M, ke Gorontalo tahun 1612 M. Agama Islam
yang telah kuat di Sulawesi Selatan menjalar masuk di Pulau Nusa Tenggara,
yaitu ke Bima (Sumbawa) dan Lombok, di bawa oleh pedagang-pedagang Bugis. Sumbawa dikuasai kerajaan Gowa pada tahun 1616 M.
BAB VII
PENDIDIKAN
ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN
A.
Pendidikan
Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Penaklukan
bangsa Barat atas Indonesia
dimulai dalam bidang perdagangan, kemudian dengan bidang militer. Kedatangan
mereka memang membawa kemajuan tehnologi, tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk
meningkatkan hasil penjajahan. Begitu pula dalam bidang pendidikan, barat tak
hanya memperkenalkan sistem dan metode baru, tetapi juga untuk menghasilkan
tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah rendah. Apa yang
mereka sebut pembaharuan pendidikan sebenarnya adalah westernisasi dan pasternisasi
pagmatif untuk kepentingan Barat dan Nasrani, dua motif inilah yang mewarnai
kebijaksanaan Barat di Indonesia + 3,5 abad (350 tahun).
Ditinjau
dari segi perkembangan pendidikan Islam, Belanda berusaha untuk melemahkan
pendidikan Islam, antara lain dengan usaha-usaha sebagai berikut:
1-
Para
penghulu, para madin semuanya dibebaskan dari kewajiban dalam lapangan
pendidikan dan pengajaran.
2-
Hasil dan pemungutan
zakat, sedekah, wakaf untuk membiayai pendidikan dan pengajaran semua
dihapuskan, dimasukkan kedalam kas untuk memperbaiki kehidupan para penghulu
dan kawan-kawannya.
3-
Wakaf tanah, sawah
ditujukan untuk membiayai usaha pendidikan dan pengajaran Islam, lalu
diputarkan menjadi wakaf mesjid saja.
4-
Orang-orang yang
diangkat jadi penghulu dan pegawai-pegawainya adalah menurut kemauan
pemerintahan Belanda saja meskipun bukan ahli agama.
Usaha-usaha tersebut adalah
beberapa kegiatan pemerintahan Belanda untuk melemahkan pendidikan Islam.
Kebijaksanaan dalam mengatur jalannya pendidikan tentu saja dimaksudkan untuk
kepentingan mereka sendiri, terutama untuk kepentingan agama Kristen.
Kemunduran pendidikan Islam itu
sampai puncaknya sebelum tahun 1990. Bahkan pada tahun 1882 Belanda membuat
badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam.
Tahun 1925 Belanda mengeluarkan peraturan lebih ketat, bahwa tidak semua kyai
boleh memberikan pelajaran mengaji.
Pada tahun 1901 Belanda melalukan
politik etis yaitu mendirikan pendidikan rakyat sampai ke desa dan memberikan
hak-hak pendidikan pada pribumi, dengan tujuan untuk mempersiapkan
pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda, juga untuk menghambat pendidikan
tradisional. Belanda juga tidak mau mengakui lulusan-lulusan tradisional karena
mereka dianggap tidak bekerja di pabrik maupun sebagai tenaga birokrat.
Kehadiran sekolah-sekolah
pemerintahan Belanda mendapat kecaman sengit dari ulama. Para
ulama mencemaskan sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena sekolah-sekolah
ini akan melahirkan kaum intelektual pribumi yang sekuler.
Demikian beberapa kebijaksanaan
pemerintahan Belanda terhadap umat umat Islam di Indonesia. Jika kita lihat
peraturan-peratuan pemerintahan Belanda yang sedemikian keras, maka tampaknya
dalam tempo yang singkat pendidikan islam akan lumpuh dan porakpoganda, akan
tetapi kenyataan berbicara lain, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah justru
adalah keadaan sebaliknya.
B. Pendidikan Islam Pada
Masa Penjajahan Jepang
Jepang muncul
sebagai negara kuat di Asia. Bangsa Jepang
bercita-cita besar menjadi pemimpin Asia Timur Raya. Perkembangan ekonomi dan
industri Jepang memberi gambaran bahwa tampaknya perluasan wilayah itu mutlak
diperlukan. Oleh karena itu rencana “kemakmuran bersama Asia
raya” dianggap sebagai suatu keharusan dan oleh kalangan militer diterima dan
disambut dengan hangat karena menjanjikan adanya prestasi kepahlawanan dan
dedikasi.
Dengan demikian maka kejayaan dan
masa keemasan kaum penjajahan Belanda lenyap, ketika pada tanggal 8 Maret
mereka bertekuk lutut tanpa syarat kepada Jepang.
Kendatipun demikian bangsa Indonesia belum bebas dari penjajahan sebab
Jepang mengambil alih pendudukan Indonesia dari Belanda. Selanjutnya
Indonesia
memasuku alam baru dibawah pemerintahan Jepang.
Pada awalnya, pemerintah Jepang
mengambil hati umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, dengan cara berikut ini:
1-
Kantor urusan agama
yang pada zaman Belanda dipinpin oleh orang orientalis Belanda, diubah oleh
Jepang yaitu dibawah pimpinan umat Islam sendiri oleh Kyai H. Hasyim Asy’ari.
2-
Pondok pesantren yang
besar-besar mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang.
3-
Sekolah negeri diberi
pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
4-
Disamping itu
pemerintah Jepang mengijinkan pembentukan barisan Hizbullah untuk memberikan
latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam.
5-
Pemerintah Jepang
mengizinkan berdirinya sekolah tinggi Islam di Jakarta yang dipinpin oleh Kyai
H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir dan Bung Hatta.
Maksud dari pemerintahan Jepang
adalah supaya kekuatan umat Islam dan Nasional dapat dibina untuk kepentingan
perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang.
Setelah Jepang memasuki perang
dunia II dan kedudukan Jepang terjepit oleh sekutu, Jepang semakin menekan dan
menjalankan kekerasan terhadap bangsa Indonesia. Hasil kekayaan bumi Indonesia
dikuras untuk pembiayaan perang Asia Timur Raya. Jepang lalu memberlakukan
kerja paksa (romusha). Kemudian Jepang membentuk badan-badan rakyat semesta,
Sepuh maimao peta dan lain-lain. Sehingga kehidupan bangsa Indonesia semakin tertindas dan
menderita. Oleh karena itu lahirlah pemberontakan-pemberontakan misalnya
pertahanan PETA di Blitar Jawa timur mengadakan pemberontakan, bahkan alim
ulama juga mengadakan perlawanan politik.
Mengenai tujuan pendidikan pada
zaman penjajahan Jepang disebut “Hakka Ichiu” mengajak bangsa Indonesia bekerja sama dalam rangka
mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Oleh karena itu, pelajar-pelajar
diharuskan mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran dan indaktranisi ketat.
Pada akhir zaman penjajahan
Jepang, sebenarnya terdapat tanda-tanda tujuan mereka menjepangkan anak-anak
Indonesia, sehingga digerahkanlah barisan propoganda Jepang yang terkenal
dengan nama “sendenburg” yang diberi
tugas untu menanamkan idiologi baru, idiologi itu harus menghancurkan idiologi
Indonesia Raya.
Kendatipun demikian ada beberapa
hal yang perlu dicatat pada zaman Jepang ini, yaitu perubahan yang cukup
mendasar di bidang pendidikan, yaitu:
1-
Hapusnya dualisme
pengajaran, yaitu dihapuskan sistem pengajaran Belanda yang dualisme
(membedakan dua jenis pengajaran barat dan pengajaran bumi putra).
2-
Pemakaian bahasa
Indonesia, baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar pada
tiap-tiap sekolah.
Sikap penjajahan Jepang ternyata
lebih lunak, sehingga gerakan pendidikan Islam lebih bebas berkembang dibanding
pasa penjajahan Belanda, karena Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan
agama, yang lebih penting bagi mereka adalah kepentingan perang dalam rangka
mencapai kemakmuran bersama Asia Raya.
BAB VIII
PENDIDIKAN
ISLAM PADA MASA
KEBANGKITAN NASIONAL
Pada permulaan abad 20, Indonesia
mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan dibidang agama, pendidikan dan
pencerahan. Pendidikan Islam mengalami perkembangan dari masa kemasa, sejak
masuknya Islam ke Indonesia.
Pada awalnya pendidikan Islam dilaksanakan secara tradisional, namun sejalan dengan
perkembangan zaman, maka terjadi pembaharuan dalam sistem pendidikan islam.
Pada awal abad inilah merupakan kebangkitan ummat Islam dari ketertinggalannya
dalam bidang pendidikan.[1] Ketertinggalan ini disebabkan Indonesia mengalami penjajahan
belanda yang secara spritual telah memerosokkan ummat ke taraf terendah dalam
kondisi ilmiah. Kesadaran pembaharuan ini banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang
muncul dari luar yang dibawa oleh para
tokoh ulama yang telah selesai mengecap pendidikan di timur tengah.
Berbicara
tentang pembaharuan pendidikan islam di Indonesia, mengharuskan kita
membahas gerakan-gerakan pembaharuan yang dilakukan para tokoh-tokoh tersebut
yakni dengan mendirikan organisasi-organisasi keislaman dibidang pendidikan dan
kemasyarakatan. Mereka mendirikan sekolah-sekolah dan pesantren dengan
mengadakan pembaharuan dalam sistem pendidikannya dengan mengadopsi sistem
pendidikan moderen. Diantara
organisasi-organisasi tersebut adalah al-jamiat Khair, al-Irsyad,
Perserikatan Ulama, Muhammadiyah,
Nahdatul Ulama, Persatuan islam (Persis) dan Matlhaul Anwar. Maka di dalam pembahasan
ini akan dijelaskan satu persatu.
A.
Organisasi-organisasi Dalam Islam
1.
Al-Jami’at Khair
Al-Jamiat Khair
didirikan di Jakarta pada tanggal 17 juli 1905
oleh sayid Muhammad al-Fachir bin abdurrahman Al-Masjhur, Syayid bin
Abdullah bin Syihab, Sayid Idrus bin Ahmad bin Syihab dan Sjehan bin Syihab.
Usaha-usaha yang dilakukan jami’at khair adalah mendirikan sekolah dasar pada
tahun 1905. Pada sekolah ini bukan saja mengajarkan materi pelajaran agama
saja, tapi juga ilmu-ilmu yang bersifat umum, dalam proses belajar mengajar
diadakan dikelas-kelas yang telah terorganisasi dengan memakai bangku, kursi,
meja papan tulis dan batu kapur, dan bahasa pengantar adalah bahasa indonesia
atau bahasa melayu, kemudian bahasa asing juga dipelajari seperti bahasa
inggris.
Dalam pengadaan
guru-gurunya, jami’at khair mendatangkan guru dari daerah-daerah lain, bahkan
dari luar negri.
2.
Al-Irsyad
Al-Irsyad
berdiri pada tahun 1914 yang didirikan oleh Syaih Umar Maggus, Tahun 1915
berdirilah sekolah Al-Irsyad yang pertama di Jakarta, yang kemudian di susul
oleh beberapa sekolah dan pengajian lain yang sehaluan dengan itu.
Al-Irsyad selain
memobilisasi tingkat kecerdasan bangsa Indonesia
dibidang pendidikan, tidak hanya terbatas bagi orang arab saja, tetapi juga
seluruh warga indonesia.
Usaha Al-irsyad
untuk memperbaiki manajemen sekolah dimulai tahun 1924, keluar peraturan bahwa
hanya anak-anak di bawah umur 10 tahun yang dapat di terima dikelas satu
sekolah dasar, sedangkan yang berumur di atas 10 tahun dapat masuk kekelas yang
lebih tinggi, tergantung kemampuan ketika ujian masuk. Lama pendidikan
disekolah dasar adalah lima
tahun. Kemudian yang belajar disekolah guru mempunyai kesempatan untuk praktek
mengajar dalam rangka meningkatkan kompetensinya.
Tokoh-tokoh
Al-Irsyad menerbitkan beberapa buku dan pamflet-pamflet untuk menyebarkan
ide-ide dan fahamnya. Ide-ide mereka itu banyak dipengaruhi oleh
tulisan-tulisan Abduh, yaitu bahwa dalam mendidik seorang anak hendaknya
ditekankan pada tauhid, fiqih, dan sejarah yang mana semua itu bersandar pada
dalil-dalil Al-qur’an dan hadis Nabi.
3.
Perserikatan Ulama
Persyerikatan ulama
merupakan gerakan pembaharuan di majalengka, Jawa Barat, yang berdiri tahun
1911 oleh KH. Abdul Halim. Abdul Halim sangat terkesan dengan sistem pendidikan
yang ditemuinya di dua lembaga pendidikan, yaitu Bab al-Salam dekat Mekah dan
satu lagi di Jeddah. Dalam pandangan kedua lembaga ini telah menggunakan sistem
klasikal dalam proses belajar mengajar, menggunakan meja, bangku dan kurikulum
yang tersusun sedemikian rupa. Kedua lembaga pendidikan ini kelak menjadi
contoh baginya ketika mengadakan perubahan dalam sistem pendidikan tradisional
di daerahnya.
Setelah kembali
ketanah air, Abdul Halim mendirikan
Hayatul Qulub, pada tahun 1911, organisasi ini bergerak di bidang pendidikan
dan ekonomi. Dalam bidang ekonomi, organisasi membantu pedagang dan petani
dalam persaingan dengan orang- orang cina. Dalam bidang pendidikan Abdul Halim
mengadakan pelajaran agama sekali seminggu untuk orang dewasa diikuti 40 orang,
materi pelajarannya fiqih dan hadist.
4.
Muhammadiyah
Muhammadiyah
adalah organisasi Islam yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan
kemasyarakatan. Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta
pada tanggal 10 November 1912, bertepatan dengan 8 Zulhijjah 1330 oleh K.H.
Ahmad Dahlan. Tujuan didirikan organisasi ini adalah untuk membebaskan umat
Islam dari kebekuan dalam segala bidang kehidupannya, dan praktek-praktek agama
yang menyimpang dari kemurnian ajaran islam. Saat itu, umat islam telah
dipengaruhi sikap fatalisma, bid’ah, khurafat, dan konservatisme yang
berpengaruh kuat pada kehidupan keagamaan dan sosial ekonomi masyarakat muslim indonesia.
Kolonialisme dan misi kristen telah memperburuk keadaan umat islam yang semakin
terbelakang dan ketinggalan zaman di segala bidang.
Muhammadiyah
mulai berkembang ke berbagai daerah di luar yogyakarta setelah tahun 1917.
ketika itu budi Utomo mengadakan kongres di yogyakarta, K.H. Ahmad Dahlan
menyampaikan ide-ide dan harapan-harapannya dihadapan peserta, sehingga banyak
yang tertarik untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di berbagai tempat di
pulau jawa. Sedangkan perkembangan Muhammadiyah untuk daerah di luar pulau jawa
di mulai di minangkabau diubah menjadi cabang Muhammadiyah pada tahun itu juga.
Pada tahun 1927 berdiri cabang Muhammadiyah di Bengkulu. Banjarmasin dan Amuntai sedangkan pada 1929
menyebar sampai ke Arah dan Makasar.
Sebagai
organisasi dakwah dan pendidikan, Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan
dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pada 1915 Ahmad Dahlan mendirikan
sekolah dasarnya pertama diikuti sekolah sekolah Muhammadiyah di pelosok Indonesia. Pada
tahun 1925, organisasi ini telah mempunyai 8 Hollands Inlandse School (HIS),
sebuah sekolah guru di yogyakarta, 32 buah sekolah dasar 5 tahun, sebuah schakel School, dan 14 buah madarasah.
5.
Persatuan Islam
Persatuan Islam
(PERSIS) didirikan secara resmi pada tanggal 12 September 1923 di bandung, oleh sekelompok
orang islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin
oleh Zamzam dan Muhammad Yunus. Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang
berdiri pada awal abad ke-20, persatuan islam mempunyai ciri tersendiri, di
mana kegiatannya dititik beratkan pada pembentukan faham keislaman.
Untuk
menyebutkan cita-cita dan pemikirannya PERSIS mengadakan pertemuan umum,
tabligh, khotbah-khotbah, kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah
dan menyebarkan atau menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah dan
kitab-kitab. Dua orang tokoh persis yang terkenal adalah A. Hassan dan Mohammad
Natsir.
Dibidang
pendidikan, persis mendirikan sebuah madrasah yang pada awalnya dimaksudkan
untuk anak-anak dari anggota PERSIS, tetapi kemudian, madrasah ini dibuka bagi
anak-anak lainnya.
Dalam bidang
pendidikan persis mendirikan sebuah madrasah yang pada awalnya dikhususkan bagi anak-anak
anggota persis, tetapi belakangan terbuka bagi anak-anak lain. Selain itu
diadakan kursus-kursus dalam bidang agama untuk orang dewasa. Guru yang
membimbing kursus ini adalah A.Hassan dan Haji Zam-Zam.
Selain itu
persis juga mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama pesantren PERSIS di bandung pada tanggal 1
zulhijjah 1354( 1936). Tujuan dari pesantren adalah mempersiapkan calon-calon
ulama yang tidak kaku menghadapi masyarakat, menghasilkan muballigh-muballigh
yang memiliki kemampuan serta kesanggupan menyiarkan, membela serta
mempertahankan agama islam.
6.
Nahdhatul Ulama
Nahdhatul Ulama
berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H. (33 januari 1926 M).di surabaya oleh beberapa ulama antara lain, KH.
Hasyim “Asya’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bisri(Jombang). Seperti
organisasi lainnya NU juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan pesanteren dan
madrasah-madrasah dengan berbagai jenjangnya di tiap-tiap wilayah dan cabang
diseluruh Nusantara.
Tahun 1927 baru tujuan organisasi
dirumuskan. Organisasi ini bertujuan memperkuat ikatan salah satu dari empat
mazhab serta untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk anggota, sesuai
dengan islam. Kegiatan ini meliputi usaha untuk memperkuat persatuan di antara
para ulama yang masih berpegang teguh pada mazhab, pengawasan terhadap pemakaian
kitab-kitab di pesanteren, penyebaran Islam, seperti yang di ajarkan oleh
mazhab yang empat, perliasan jumlah madrasah serta perbaikan organisasinya,
bantuan kepada mesjid, langgar dan pesantren, dan juga pemeliharaan anak yatim
serta fakir miskin. Maksud lain yang penting pula ialah pebentukan badan-badan
untuk memajukan usaha para anggota Nahdtul Ulama.
Secara umum
dapat dikatakan bahwa pesantren di lingkungan NU yang bercorak pembaharu amat
respon terhadap perkembangan masyarakat. Dari segi kelembagaan, madrasah di
pesanteren meliputi ibtidaiyah, sederajat dengan SD dengan lama belajar 6
tahun. Usaha-usaha pembaharuan pendidikan di lingkungan NU memberikan pengaruh
positif bagi perkembangan kesadaran transformasi di kalangan masyarakat islam
di Jawa timur dan Madura yang merupakan basis utama bagi KH. Hasyim Asy’ari.
. Pembaharuan pendidikan yang diterapkan di pesantern tebuireng
tersebut merupakan awal yang bagus bagi kemajuan pesantren, khususnya di jawa
dan madura. Pada perkembangannya berikutnya, modernisasi tersebut menjadi
contoh bagi pesantren di jawa untuk lebih terbuka terhadap sistem pesantren
modren. Besarnya pengaruhb KH. Hasyim Asy’ari sangat mendukung bagi penyebar
luasan pembaruan pendidikan di pesantren. Setelah Indonesia merdeka dan ketika KH.
Hasyim Asy’ari menjabat sebagai menteri agama RI., ia pengambil keputusan untuk menyesuaikan diri
dengan sistem pendidikan Barat. Cara yang di tenpuh untuk melaksanakan
keputusan ini antara lain dengan melakukan propaganda untuk memasukkan mata
pelajaran umum kedalam madrasah. Keputusan departemen agama ini oleh
Stenbrinka, di anggap sebagai akibat dari pembaharuan pendidikan yang terjadi
di”ibu kota”
NU, Jombang. Besarnya pengaruh dan keharisma KH. Hasyim Asy’ari berhasil
melunakkan hati para kyai di pedesaan untuk sedikit demi sedikit mentransper
sistem pendidikan modren.
7.
Matla’ul anwar
Matla’ul Anwar
(MA) berdiri pada tahun 1916 di Menes, Padeglan, Jawa barat, oleh KH.Entol
Muhammad yasin dan mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal.
Lahirnya MA
dipengaruhi oleh sosio kultural dan politik pada saat itu, yaitu adanya
kewenangan yang sedemikian luas bagi koloni Belanda dalam mengatur dan
mengarahkan rakyat jajahannya, sehingga menimbulkan reaksi keras dari
masyarakat dan juga adanya gerakan pembaharuan di berbagai negara Islam, juga
di Indonesia dengan timbulnya paham Nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
Pada awalnya materi pelajaran yang dipelajari di
lingkungan pendidikan MA adalah menitik beratkan pada mata pelajaran agama,
namun mulai tahun 1945 perbandingan mata pelajarannya menjadi 65% untuk agama
dan 35% pengetahuan umum. Tingkat sekolahnya adalah ibtidaiyah. Tsanawiyah dan
Aliyah.
Tujuan utama
dari MA adalah memperjuangkan kesempurnaan tumbuhnya pendidikan dan pengajaran
Islam di tengah-tengah masyarakat islam, berbagai usaha dilaksanakan untuk
mencapainya antara lain dengan mengorganisir pendidikan dan pengajaran Islam
pada madrasah-madrasah, sekolah-sekolah dan pesantren-pesantren.
BAB IX
PENDIDIKAN
ISLAM PADA MASA KEMERDEKAAN INDONESIA
A. Pendidikan Islam
Zaman Kemerdekaan
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia
merdeka. Setelah Indonesia
merdeka penyelenggaraan pendidikan Islam mendapat perhatian yang serius dari
pemerintah baik di sekolah negeri maupun di sekolah swasta. Usaha untuk itu
dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang
telah dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27
Desember 1945 yang menyebutkan bahwa madrasah dan pesantren yang pada
hakikatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat
jelata yang sudah berurat dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula
mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari
pemerintah.
Kenyataan yang demikian, timbul
karena kesadaran umat Islam yang dalam, setelah sekian lama mereka terpuruk
dibawah kekuasaan penjajah. Sebab pada zaman penjajah Belanda pendidikan Islam
terbuka secara sangat sempit.
B. Tokoh-tokoh
Pendidikan Islam di Indonesia
1-
Kyai Haji Ahmad
Dahlan
2-
Kyai Haji Hasyim
Asy-‘ari
3-
Kyai haji Abdul Halim
C. Lembaga Pendidikan
Islam Sesudah Indonesia
Merdeka
Setelah Indonesia
merdeka dan telah mempunyai Departemen Agama, maka secara instansional
Departemen Agama diserahi kewajiban dan bertanggungjawab kepada pembinaan dan pengembangan
pendidikan agama dalam lembaga-lembaga dan sebagainya. Lembaga pendidikan islam
ada yang berstatus negeri ada yang swasta. Yang berstatus negeri misalnya; MIN,
MtsN, MAN, PTAIN (yang kemudian
berubah menjadi IAIN).
Pendidikan Islam mulai diajarkan
secara resmi di sekolah umum negeri pada tahun 1946, dengan keluarnya SKB
mentri agama dan mentri pendidikan. Sebagai tindak lanjutnya adalah penyediaan
dan pengadaan tenaga guru agama yang ditugaskan di sekolah-sekolah umum negeri.
Untuk memenuhi kebutuhan guru agama islam itu, maka pada tahun 1950 Departemen
Agama mendirikan sekolah guru agama Islam (SGAI).
Lulusan sekolah ini dipersiapkan untuk menjadi guru agama islam di SD,
sedangkan guru agama si SMP dan
SMA maka didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam.
Dalam jangka waktu beberapa tahun
diawal berdirinya kementrian ini telah dikeluarkan berbagai peraturan yang
menentukan tugas serta ruang lingkup kementrian agama. Tujuan dan fungsi
Departemen Agama dirumuskan pada tahun 1967, yaitu:
1-
Mengurus serta
mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah serta membimbing
perguruan-perguruan agama.
2-
Mengikuti dan
memperhatikan hal-hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan.
3-
Memberi penerangan
dan penyuluhan agama.
4-
Mengurus dan mengatur
peradilan agama serta menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum
agama.
5-
Mengurus dan
memperkembangkan, mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi.
6-
Mengatur, mengurus
dan mengawasi penyelenggaraan haji.
D. Tujuan Pendidikan
Islam Pada Masa Kemerdekaan
1-
Tujuan yang bersifat
individu, mencakup perubahan, yaitu perubahan pengetahuan.
2-
Tujuan yang mencakup
masyarakat, yaitu perubahan kehidupan masyarakat serta memperkaya pengalaman
masyarakat.
3-
Tujuan profesional
yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni profesi dan
kesertaan masyarakat.
E. Isi Pendidikan Islam Indonesia
Isi pendidikan
dan pengajaran agama Islam sampai timbul sistem madrasah, baik yang diajarkan
di surau-surau, langgar, mesjid maupun pondok pesantren adalah sebagai berikut:
1-
Pengajian al-Qur’an,
adapun pengajiannya adalah:
a.
Membaca al-Qur’an
b.
Ibadah
c.
Keimanan sifat dua
puluh
2-
Akhlak (dengan
ceritera dan contoh teladan).
Pada tingkat yang lebih atas
ditambah dengan tajwid lagi qasidah, barzanzi, dan mempelajari kitab perukunan,
seperti ilmu nahwu, sharaf, fiqh, tafsir dan lain-lain.
BAB X
PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE BARU
Sejak ditumpasnya peristiwa G 30 SPKI pada tanggal 1 Oktober
1965, bangsa Indonesia
telah memasuki fase baru yang disebut dengan orde baru. Orde baru adalah salah
satu sikap mental yang positif untuk menghentikan dan mengoreksi segala
penyelewengan terhadap pancasila dan UUD 1945.
Rumusan
tersebut semakin sempurna dengan lahirnya UU RI nomor 2 tahun 1989 tentang
sistem pendidikan nasional dengan dilengkapi beberapa peraturan dalam kerangka
pelaksanaannya.
Dalam
pelaksanaan peraturan perundang-undangan sistem pendidikan nasional, Departemen
Agama bertangung jawab mengenai materi dan pelaksanaan pendidikan agama di
sekolah-sekolah umum. Disamping menyelenggarakan pendidikan agama, mentri agama
bertanggung jawab dalam hal-hal berikut ini:
1-
Pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan agama Islam
2-
Peningkatan
mutu guru-guru agama Islam
3-
Perampungan
dan penyempurnaan kurikulum
4-
Peningkatan
sarana dan prasarana pendidikan agama
5-
Peningkatan
efektifitas metodologi
6-
Pengendalian
dan pengawasan
7-
Pengembangan
pola pembinaan pendidikan terpadu.
Sejak MPRS
bersidang pada tahun 1966, telah diupayakan membersihkan sisa-sisa mental G 30
SPKI. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan,
karena sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib mulai dari SD sampai
perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Dengan demikian pendidikan agama makin
memperoleh tempat yang kuat dalam sturuktur organisasi pemerintahan dan
masyarakat pada umumnya.
[1] Musyrifah Sunanto. Sejarah
Peradaban Islam Indonesia
(Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2005), hlm, 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar